Teruntuk Adinda
Di puncak menjulang, dalam lembah keemasan
Adinda, ini salah satu tulisanku untukmu yang mungkin akan kau baca seperti selaksa kabut di lembahan tubuhmu. Selaksa kabut yang menjelmakan bait-bait puisi membungkam rindu yang kerap bercokol di kepalaku. Selaksa kabut itu juga yang kian menyesatkanku jauh lebih tersesat menyelami tiap karvak yang tak jua kutemukan sua.
Adinda, aku tengah terengah-engah menapaki garis kontur peta menelusur sabit di pipimu yang masih tak tampak pada horison di pelupuk mata. Ssst.. kabut yang kian menipis semakin karib dengan asap mendung yang ingin hinggap, menyesakkan paru-paru hingga kerongkongan. Sementara di benakku ada satu musim yang belum kutahu apa namanya.
Disana rindu berjihat melawan jarak dan waktu; mengeja namamu dengan jarak pandang terbatas, mengejar bayangmu dalam keresahan yang tak kunjung usai, ke arah mimpimu di ujung jurang sana, di batas kabut yang kian kalut. Sementara matahari kian pongah di puncak keemasan, memanggang kerikil setapak membakar otak dan menjalar ke nadi.
Adinda, kau bukanlah lembah seulawah dan sajak-sajakku bukanlah "catatan seorang demonstran". Sajak-sajakku pengecut, ia mengumpat dalam sunyi, berkata secara isyarat dan berbisik secara tabiat kepada langit. Pun aku bukanlah "Kombatan" yang mampu berpikir kritis terhadap rezim apatis. Namun aku ingin kau seperti lembah Seulawah dalam syairnya "Rafly Kande"; "aku ingin bicara padamu tentang cinta dan keindahan, dan aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku"
Adinda, perihal mencintaimu aku hanya ingin menjadi aku dengan puisi letih di sepertiga malam. Yang kelak kau baca meski penyairnya telah mati. Sebab abjad-abjadnya telah tercecer di sana-sini bersama rindu pada jejak-jejak lembahan tubuhmu. Dan mungkin jua terselip di bantalmu, terbawa ke puncak tertinggi hingga turun sampai beranda rumahmu ketika kau tanggalkan bantal itu.
Koetaradja, 13 Oktober 2018
Post a Comment